Sajian romansa dengan tempo lambat memang sebuah anomali di tengah ramainya suguhan horor dan film action Hollywood. Namun kali ini Hanung Bramantyo memberanikan diri untuk mengantarkan Reza Rahadian dan Ayushita dalam pemaknaan cinta yang begitu dalam. Nggak ada yang salah dengan kedua aktor dan aktris berbakat tersebut. Hanya saja alur melodramatis yang seolah dipaksa dan berlebihan membuat film ini kehilangan jati diri. Bukan bermaksud membocorkan, tapi akhir film ini sungguh bisa jauh lebih baik.
Ketika melihat poster film The Gift yang diunggah oleh akun Instagram resmi Reza Rahadian, saya menduga ini adalah film romansa biasa. Setelah mengetahui Reza berperan sebagai tuna netra, nggak dimungkiri jika ada kesempatan film ini bakal menarik. Kemudian saya perhatikan lagi posternya, ah, kok saya rasa bakal tahu ending-nya sih?
Film garapan Hanung Bramantyo belakangan memang selalu dapat kritik karena seolah dibuat untuk kepentingan komersial semata dan abai akan nilai-nilai film itu sendiri. Yang penting ramai dan laku, ya, sudahlah. Sebenarnya nggak ada yang salah dengan film tipikal seperti itu, namun nggak ada salahnya juga menyuapi anak muda dengan tayangan yang asyik tapi tetap berkualitas. Bahkan sekadar memberikan pembelajaran terhadap sineas lain bahwa film yang ramai juga bisa disebut karya seni apik. Dan, Hanung adalah salah satu sutradara yang mungkin bisa mewujudkannya.
Nggak ada yang salah dengan memilih Reza Rahadian dan Ayushita selain slentingan, “Kok Reza lagi sih?”
Banyak banget orang yang protes perihal kembali ‘dipaksa’ menyaksikan aksi Reza di layar lebar. Bukan karena meragukan kemapuannya, namun lebih mempertanyakan; memangnya nggak ada yang lain? Jawabannya adalah, nggak, memang nggak ada yang lain, My lov. Terlebih lagi, Hanung dan Reza sudah selayaknya bromance yang sering sekali terlibat proyek bersama, tentu ini jadi salah satu cara buat mengamankan produksi film. Ayushita juga tampil dengan jenius, mengimbangi bagaimana Reza yang tampaknya sudah mengeksplorasi Al Pacino yang berperan sebagai lelaki tuna netra di film Scent of A Woman (1992).
Alur yang sangat lambat dengan beberapa shot yang surealis, sebenarnya cukup mendukung untuk membuat film ini ‘berat’
Awalnya film ini bercerita tentang seorang novelis bernama Tiana (Ayushita) yang sedang mencari inspirasi di Yogyakarta. Berbagai shot dramatis nggak luput dari keunikan Yogyakarta. Demi menceritakan latar belakang karakter yang penuh dengan lika-liku, alur film ini rela maju mundur dan dengan perlahan seperti pengen mendikte penonton bahwa tokoh Harun (Reza Rahadian) dan Tiana merupakan dua pribadi yang rapuh lalu bertemu untuk saling menguatkan.
Beberapa shot yang tampak imajinatif seperti berenang di luar jendela kamar juga menambah kesan bahwa film ini sangat berusaha diciptakan untuk menjadi film itu sendiri, bukan sekadar film dengan nilai komersil. Sayangnya alur yang lambat ini justru kehabisan rasa di tengah. Seolah diburu durasi film, bagian percintaan Tiana dan Harun kurang digali lebih dalam. Akhirnya penonton nggak banyak punya alasan untuk turut mengharapkan langgengnya hubungan kedua pasangan ini.
Mengapa harus Italia?
Sebenarnya dengan mengambil Yogyakarta, film ini sudah terasa cukup ‘puitis’. Namun babak ketika setting beralih ke Italia, cenderung membuat saya bingung. Secara kebetulan ayah Harun bahkan tinggal di Italia dan ia akhirnya dirujuk untuk menjalani operasi mata di sana. Wow, kalau jodoh memang nggak ke mana! Namun lain halnya dengan cinta yang datang tiba-tiba, seharusnya pemilihan Italia sebagai setting selanjutnya punya alasan yang kuat. Jika setting-nya dialihkan ke Jakarta pun sebenarnya nggak akan merusak plot kok. Menurut hemat saya, lho, sebagai sobat miskin hemat.
Alkisah, film ini sebenarnya dalam perjalanan menuju jati diri yang hakiki. Tapi penyelesaian akhirnya seperti membawanya terjun ke jurang
Tanpa bermaksud pengen membocorkan alur cerita, saya rasa saya harus membahas soal akhir film ini. Bagi kalian yang menganggap spoiler/bocoran adalah sebuah luka menyakitkan, silakan untuk berbesar hati, ya. Jangan lantas menuliskan kolom komentar dengan kata kasar, memaki penulis, dan kecewa bahwa ulasan ini mengandung bocoran yang cukup kurang ajar. Emosi itu akan sia-sia, my darling.
Akhir cerita film ini, jujur saja, lawak. Alih-alih ada penyelesaian jenius yang akan membuat hati penonton ‘tergerus’, Hanung justru membuat banyak penonton membatin, “Klasik!” dengan penuh emosi. Sungguh sebuah ending yang seperti ini justru akan mengobrak-abrik usaha film ini yang sudah dimulai dengan establishing penuh rasa, konflik yang melibatkan karsa, tapi diakhiri dengan cukup memaksa. Bahkan seperti yang saya sampaikan di awal, ending film ini cenderung mudah ditebak sejak melihat poster. Betapa ngawurnya dugaan awal saya, tapi kok, ya, benar!
The Gift (2018) sebenarnya sungguh bisa jauh lebih baik dari ini. Untuk mengulang kesuksesan Hanung sebagai sineas yang nggak hanya cari uang, tentu akan sangat sulit. Tapi bukannya nggak bisa, kan? Meski film The Gift belum bisa dikatakan berhasil, paling nggak film ini sudah berusaha berjalan pada jalur yang benar. Nggak apa-apa, karya selanjutnya akan segera datang. 😀
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
from Hipwee https://ift.tt/2LKv1Fd
Info Tentang Perawatan Rambut Klik Saja Green Angelica
0 Komentar