Akhir bulan November lalu, pihak Angkasa Pura (AP) I, PT Pembangun Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS) menyambangi rumah warga yang menolak pembangunan bandara Kulon Progo. Mereka dikawal oleh ratusan Satpol PP, aparat kepolisian, militer, dan beberapa personel lain yang tidak berseragam.
Namun, di depan semua yang datang, warga tetap menyatakan bahwa mereka menolak keras pembangunan bandara di Kulon Progo. Oleh karena itu, personel yang datang mulai melakukan pengosongan tanah secara paksa.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengecam keras tindakan dari pihak AP dan aparat tersebut karena dianggap sebagai tindakan represif yang melanggar prinsip hukum negara dan hak asasi manusia. Menurut LBH, PT Angkasa Pura I telah melanggar pasal 28A UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya. Selain itu, sesungguhnya sudah ada yang aneh sejak izin lingkungan untuk proyek bandara ini terbit pada 17 Oktober 2017 lalu. Pasalnya, studi AMDAL (analisis dampak lingkungan) yang melandasi terbitnya izin tersebut tidak sahih secara hukum.
Hingga sore ini (Selasa 5/12), warga Kulon Progo masih terus melakukan penolakan atas pembangunan bandara yang akan diberi nama New Yogyakarta International Airport tersebut (NYIA). Ratusan TNI dan Polri diturunkan untuk menanggapi tolakan tersebut. Dengan penjagaan aparat keamanan, petugas merobohkan rumah-rumah warga terdampak proyek NYIA.
Bagaimana awal mula konflik tersebut?
Isu pembangunan bandara Kulon Progo telah berlangsung sejak lama. Bandara baru ini dibangun dengan alasan satu-satunya bandara di Yogyakarta, Bandara Adisucipto telah overload
Rancangan bandara baru di Kulon Progo via www.bbc.com
Isu pembangunan bandara di Kulon Progo memang sudah terdengar sejak penghujung tahun 2011. Sejak tahun 2012, isu tersebut semakin sering terdengar dan mulai menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam rencana pembangunan bandara di Kecamatan Temon tersebut, setidaknya ada lima desa yang akan terkena dampaknya, yaitu Desa Palihan, Glagah, Sindutan, Kebonrejo, dan Jangkrangan.
PT Angkasa Pura I merasa bahwa Bandara Adisucipto sudah tidak mampu lagi menampung pesawat yang take off dan landing. Daya tampungnya hanya sekitar 1,2 sampai dengan 1,5 juta penumpang, sedangkan jumlah penumpang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, jumlah penumpang sudah mencapai 6,2 juta.
Selain itu, Bandara Adisucipto adalah milik Pangkalan TNI AU. Bandara ini seharusnya tidak digunakan untuk tujuan komersial. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi penundaan penerbangan maupun penundaan pesawat turun saat TNI AU sedang mengadakan latihan. Oleh karena itu, PT Angkasa Pura I merasa bahwa DI Yogyakarta membutuhkan area bandara yang baru.
Menurut mereka, Kecamatan Temon di Kulon Progo adalah tempat yang paling tepat untuk membangun sebuah bandara internasional. Selain dekat dengan laut, Kecamatan Temon juga tidak jauh dari lintasan kereta api yang selama ini masih aktif digunakan. Jika seandainya pembangunan bandara dilakukan di Gunung Kidul, Bandara Adisumarmo-Solo dinilai sudah terlalu dekat dengan bagian timur Gunung Kidul. Selain itu, Kecamatan Temon juga dipilih karena merupakan area perbatasan antara DI Yogyakarta dan Purworejo-Jawa Tengah.
Tentu saja banyak warga Kecamatan Temon yang menolak menyerahkan tanahnya. Mereka hanya ingin mempertahankan tanah kelahiran dan sumber penghidupannya
Warga menolak pembanganan NYIA via tirto.id
Hingga penghujung tahun ini, pengosongan lahan masih menimbulkan konflik antara masyarakat di Kecamatan Temon dan AP serta pihak-pihak yang ingin melancarkan pembangunan bandara itu.
Pihak AP mengklaim bahwa lahan warga itu sudah menjadi milik negara karena sudah melewati proses konsinyasi. Pemilik tanah sudah mendapat ganti rugi dari pengadilan dan sebelumnya memang telah menerima tiga kali surat peringatan untuk meninggalkan tanahnya. Konsinyasi adalah pemberian ganti rugi untuk pemilik tanah yang dititipkan melalui pengadilan pada proses pengadaan lahan di proyek pembangunan yang disokong pemerintah. Sistem ini memang sudah jadi “budaya” bagi pemerintah maupun korporasi untuk merebut tanah warga.
Selanjutnya, Sofyan selaku salah satu perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran (PWPP-KP) menyebutkan tiga alasan putusan pengadilan tidak berlaku. Pertama, warga tidak pernah menyerahkan tanda bukti kepemilikan tanah dan bangunan. Kedua, tanah dan bangunan warga tidak pernah diukur sebelumnya. Ketiga, warga tidak pernah menghadiri acara sosialisasi atau negosiasi penjualan tanah yang diadakan AP atau pemerintah.
Entah apakah karena tak kunjung mau menyerahkan tanahnya, aksi persuasif mulai berubah menjadi intimidatif. Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) melaporkan adanya pemutusan saluran listrik dan pembongkaran rumah sejumlah warga itu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketua ORI Perwakilan DIY, Budi Masturi sudah menyatakan lembaganya meminta pengosongan lahan calon lokasi Bandara Kulon Progo ditunda karena akan dilakukan investigasi mengenai kemungkinan adanya praktik administrasi yang keliru dari upaya pembangunan proyek bandara tersebut.
Bukan cuma karena harus menggusur tanah warga, proyek bandara ini juga bermasalah di segi keamanan karena dibangun di daerah rawan bencana tsunami 🙁
Lahan yang sudah dikonsinyiasi pengadilan via indowarta.com
Ancaman keamanannya tidak main-main. Tim peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan potensi gempa dan tsunami di dekat lokasi proyek bandar udara baru tersebut. Ukuran potensi kekuatannya pun ada di angka magnitude 9.
“Jika suatu saat terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan (kekuatan kegempaan) magnitude lebih tinggi sedikit saja, bandara baru itu akan kena mulai bagian apron, terminal sampai runway-nya,” ujar Hamzal Wahyudin selaku Direktur LBH Yogyakarta yang mengutip pernyataan Kepala Geoteknologi LIPI Eko Yulianto, dilansir dari Tirto. “Khalayak umum terutama masyarakat calon pengguna jasa transportasi udara seakan-akan sedang dijerumuskan ke kawasan beresiko bahaya ekstra, yaitu kawasan rawan bencana tsunami.”
Update terbaru: 12 aktivis dibawa ke Polres
Siang ini (Selasa 5/12), konflik masih belum menunjukan gejala akan reda. Bahkan, terdapat 12 aktivis yang “diamankan” ke Polres Kulon Progo karena diduga memprovokasi warga. Berdasarkan rilis yang beredar, 12 nama itu adalah Andre Imam dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Ekspresi (LPM Universitas Negeri Yogyakarta/UNY), Muslih dari FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam), Kafabi dari UIN (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), Rifai dari Universitas Mercubuana, Wahyu dari UIN, Fahri dari LPM Rhetor (LPM UIN), Rimba dari LPM Ekspresi, Samsul dari LFSY (Liga Forum Studi Yogyakarta), Chandra dari LFSY, dan Mamat dari UIN, dan Yogi dari UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta).
Selain itu, YLBHI meminta berbagai pihak, termasuk Presiden Jokowi membatalkan proyek pengadaan tanah untuk pembangunan itu. “Kami mendesak dan menuntut kepada Presiden Jokowi, Pemerintah Daerah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan PT Angkasa Pura 1 untuk mengembalikan hak-hak warga pada kondisi semula,” ujar Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary, seperti dikutip dari Tempo.
Hmmm… kesekian kalinya kepentingan negara digunakan sebagai dalih menindas kebutuhan rakyat kecil. Ini problem klasik agraria dari zaman penjajahan Belanda dulu. Pengadaan proyek-proyek yang sejatinya menguntungkan pihak-pihak elit tertentu. Tentu saja ganti rugi yang diberikan tidak akan setara dengan nilai tanah sebagai modal utama menghidupi masyarakat. Terlebih lagi jika prosedurnya masih dipertanyakan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
from Hipwee http://ift.tt/2iPZHLA
Info Tentang Perawatan Rambut Klik Saja Green Angelica


0 Komentar